Penjelasan Hadits Arba’in ke 28: Nasehat untuk Menjalankan Sunnah dan Menghindari Bid’ah
Insan Kamil Kota Bima - Penjelasan Hadits Arba’in ke 28: Nasehat untuk Menjalankan Sunnah dan Menghindari Bid’ah
Abu Najih al-Irbadh bin Sariyah ra. berkata, Rasulullah saw. menasehati kami dengan nasehat yang membuat hati kami luluh, dan air mata kami berderai.” Kami bertanya, “Wahai Rasulallah, seakan-akan ini nasehat perpisahan, karena itu berilah kami pesan terakhir.” Beliau bersabda, “Aku perpesan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah swt. patuh dan taatlah meskipun pemimpin kalian adalah seorang budak, karena orang yang hidup sesudahku pasti akan menyaksikan banyak pertikaian. Karena itu, berpegangteguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyiddin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi geraham. Dan hidarilah hal-hal yang baru [dalam soal agama], karena semua yang bid’ah [baru dalam soal agama] itu sesat.” (HR Abu Dawud dan Tirmdizi. Imam Tirmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)
KANDUNGAN HADITS
1. Nasehat yang menyentuh.
Agar sebuah nasehat mempunyai pengaruh yang kuat, maka harus memiliki syarat:
a. Tema yang tepat.
Dalam memberikan nasehat maupun peringatan kepada masyarakat perlu memiliki tema-tema yang sangat bermanfaat bagi agamanya maupun dunianya. Tidak hanya berkutat pada penjelasan mengenai berbagai hukum. Namun perlu memilih tema-tema yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dalam realita kehidupan sehari-hari.
Membatasi nasehat hanya pada khutbah Jum’at dan hari raya yang menyebabkan masyarakat muslim menjauh dari hakekat agamanya. Terlebih jika khutbah telah menjadi berubah menjadi profesi dan bukan sebagai tugas dakwah, atau isi khutbah yang disampaikan adalah lembaran-lembaran yang ditulis berabad-abad silam. Maka tanpa disadari, mereka telah membangun benteng penghalang antara nilai-nilai Islam dengan realita kehidupan modern.
Sebenarnya Rasulullah saw. telah mencontohkan kepada kita, beliau sering menasehati para shahabat di luar khutbah-khutbah yang formal. Nasehat-nasehat tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi para shahabat. ini semua dilakukan sebagai bentuk realisasi dari firman Allah yang artinya: “Serulah [manusia] kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (an-Nahl: 125)
b. Dengan bahasa yang baik.
Bahasa yang baik dan jelas akan membantu seseorang untuk lebih mudah memahami dan menerima apa yang ia dengar, bahkan bahasa yang baik juga lebih mempunyai efek langsung terhadap hati. Allah berfirman, “Dan berilah mereka pelajaran dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (an-Nisaa’: 63)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Rasulullah saw. menasehati kami dengan nasehat yang membekas pada jiwa.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
c. Nasehat tidak terlalu panjang
Nasehat yang terlalu panjang dapat membosankan orang yang mendengar, hingga manfaat yang diinginkan tidak bisa dicapai. Rasulullah saw. senantiasa memendekkan berbagai khutbah dan nasehatnya.
Jabir bin Samurah ra. berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah saw. Shalatnya tidak terlalu panjang. Begitu juga khutbahya.” (HR Muslim)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Bahwa Rasulullah saw. memanjangkan khutbah Jum’at, akan tetapi hanya beberapa kalimat pendek.” (HR Abu Dawud)
d. Memilih waktu yang tepat
Rasulullah saw. tidak terus menerus memberikan nasehat. Abi Wail ra. berkata, “Ibnu Mas’ud selalu menasehati kami setiap hari Kamis. Maka seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdurrahman [Ibnu Mas’ud], kami senang dengan nasehatmu. Kami sangat mengharapkan jika engkau menasehati kami setiap hari.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya tidak memberi nasehat kalian setiap hari karena saya takut menjemukan kalian. Sesungguhnya Rasulullah saw. mengatur waktu dalam memberikan nasehat kepada kami, beliau khawatir kami bosa.” (HR Bukhari dan Muslim)
2. Sifat pemberi nasehat yang sukses
Agar nasehat bisa diterima, maka seorang pemberi nasehat harus memiliki beberapa syarat berikut ini:
a. Yakin dengan apa yang dikatakan
Keyakinan terhadap apa yang dinasehatkan mempunyai dampak yang besar bagi orang yang menerima nasehat. Karena jika orang yang mendengarkan nasehat menangkap gelagat keraguan dari orang yang memberi nasehat, maka bisa dipastikan orang tersebut tidak akan percaya apalagi menaruh perhatian. Keyakinan ini akan tampak pada cara dan nada bicaranya juga pada sikap dan raut mukanya.
Jabir bin Abdullah ra. berkata, “Ketika berkhutbah dan membahas tentang hari Kiamat, Rasulullah saw. terlihat marah, suaranya meninggi, kedua matanya memerah. Seolah-olah beliau sedang memberikan komando kepada pasukan perang.”
b. Hati yang bersih
Orang yang hatinya bersih akan berbicara dari hati, maka hati pula yang akan menerimanya. Namun jika hati penuh debu-debu dosa maka ucapan yang keluar hanyalah sebatas bibir, sehingga hanya akan masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri atau sebaliknya.
Diriwayatkan bahwa suatu saat Hasan al-Bashri mendengarkan seseorang berceramah di masjid Bashrah, namun ceramah tersebut tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap Hasan al-Bashri. Maka setelah orang-orang yang ada di situ meninggalkan tempat, ia berkata kepada si penceramah, “Bisa jadi karena di hatimu ada penyakit. Atau justru di hatiku.”
c. Ucapan sesuai dengan perbuatan.
Orang-orang yang tertarik dengan ucapan seseorang, biasanya akan mengamati perilaku orang yang berbicara tersebut. Jika ucapannya sesuai dengan perilakunya, maka akan diikuti. Namun jika tidak maka ucapan tersebut akan ditolak. Karena itulah ada orang berkata, “Barangsiapa yang memberikan nasehat dengan ucapannya, maka ucapannya akan sirna begitu saja. sedangkan barangsiapa memberikan nasehat dengan perbuatannya, maka nasehatnya akan mengenai sasaran.”
Firman Allah yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (ash-Shaaf: 2-3)
3. Keutamaan dan kebersihan hati para shahabat
Ketakutan yang menyelimuti hati para shahabat Rasulullah saw. dan air mata yang bercucuran ketika mendengar nasehat Rasulullah saw. adalah bukti keutamaan, kebersihan hati dan ketinggian tingkat keimanan mereka. wajar kalau mereka mendapatkan pujia dari Rasulullah saw. dan dari Allah secara langsung. Pujian itu terdapat dalam ayat yang artinya:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul [Muhammad], kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran [al-Qur’an] yang telah mereka ketahui [dari kitab-kitab mereka sendir].” (al-Maaidah: 83)
Dalam ayat-Nya yang lain, ketika memuji orang-orang mukmin secara keseluruhan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka.” (al-Anfaal: 2)
4. Pesan takwa
Takwa adalah melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan. Ketakwaan ini merupakan perintah syar’i. Rasulullah saw. dalam memberikan pesan senantiasa menitik beratkan masalah ketakwaan. Karena bagi siapa pun yang komitmen dengannya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Ketakwaan juga merupakan pesan Allah terhadap orang-orang yang terdahulu dan juga terhadap kita semua. Allah berfirman yang artinya, “Dan sungguh Kami telah memerintahkan [mewasiatkan] kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan [juga] kepada kamu; bertakwalah kepada Allah.” (an-Nisaa’: 131)
5. Pesan taat
Taat kepada pemimpin muslim dalam hal-hal yang ma’ruf, hukumnya wajib. Sebagaimana firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul[Nya] dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisaa’: 59)
Melihat urgensi ketaatan dan kepatuhan, maka secara spesifik Rasulullah saw. memerintahkannya, meskipun pada dasarnya ketaatan dan kepatuhan masuk dalam keumuman perintah untuk bertakwa. Dengan komitmen pada pesan ini, masyarakat muslim akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, juga akan semakin memperkuat kesatuan dan persatuannya.
Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Urusan masyarakat tidak akan berjalan dengan baik kecuali di bawah kendali seorang pemimpin, baik atau buruk. Jika pemimpinnya buruk, orang-orang beriman bisa beribadah dengan baik, dan orang-orang yang tidak baik toh akan menemui ajalnya. Sesungguhnya yang menjadikan lemah kaum muslimin adalah keengganan untuk taat kepada pemimpin mereka, bahkan lebih condong kepada anarkisme, sehingga timbul kerusuhan, pertikaian, pertentangan, dan tersebarnya kemmaksiatan.”
Rasulullah saw. bersabda: “Meskipun kalian dipimpinn oleh seorang budak.” Dan dalam riwayat Bukhari dari Anas ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Dengar dan patuhilah, meskipun yang memerintah kamu budak habsy yang hitam, seolah kepalanya penuh dengan anggur yang kering.”
Para ulama memahami hadits ini dengan dua pengertian:
a. Hadits Nabi ini merupakan informasi terhadap sesuatu yang belum terjadi. Bahwa suatu saat kondisi umat akan sedemikian kacau, termasuk dalam pelaksanaan hukum syar’i, sehingga kepemimpinan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya. Dengandemikian perintah untuk mentaati pemimpin, pada saat itu, merupakan pilihan dari dua hal yang paling sedikit resikonya. Bagaimanapun, sabar terhadap kepemimpinan yang tidak mempunyai keahlian lebih kecil resikonya daripada terjadinya kerusakan.
b. Hadits tersebut hanyalah perumpamaan dan tidak menunjukkan bahwa hal ini akan terjadi. Karena budak tidak sah untuk menjadi pemimpin. Perumpamaan seperti ini juga terdapat pada hadits yang lain. “Barangsiapa yang membangun masjid, meskipun sebesar sarang burung, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.” Karena tidak mungkin ada masjid sebesar sarang burung.
6. Komitmen terhadap sunnah Nabi dan Sunnah Khulafaur Rasyidin
Arti kata sunnah adalah jalan yang biasa dilalui. Komitmen terhadap sunnah adalah komitmen dengan semua keyakinan, ucapan dan perbuatan Nabi saw. dan para khulafaur rasyidin. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. telah mensejajarkan sunnah para khulafaur fasyidin dengan sunnah Rasulullah saw. Karena Rasulullah tahu persis bahwa apa-apa yang dilakukan khulafaur rasyidin adalah semata-mata diambil dari al-Qur’an dan sunnah. Sehingga bisa dipertanggungjawabkan dan terjaga dari kesalahan. Khulafaur rasyidin ini oleh para ulama disepakati ada empat: Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman dan Ali ra.
Tidak diragukan memang, bahwa dengan komitmen terhadap sunnah Nabi dan Sunnah khulafaur rasyidin akan membawa pada kebahagiaan dan kemenangan, terlebih di saat terjadi banyak perselisihan dan perpecahan.
7. Peringatan dari Bid’ah
Peringatan terhadap bid’ah ini sebenarnya sudah disebutkan dalam hadits yang khusus membahas masalah bid’ah.
“Barangsiapa yang menciptakan hal yang baru dalam urusan kami [masalah agama] yang sebenarnya bukan darinya [agama] maka tertolak.”
Artinya bahwa semua perkara yang baru dalam masalah agama, yang tidak mempunyai dasar syar’i, maka perkara tersebut tercela dan merupakan bid’ah yang menyesatkan.
Bid’ah mempunyai dua pengertian: syar’i dan lughawi [bahasa]. Secara syar’i bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak sesuai dengan syara’, juga tidak sesuai dengan berbagai dalilnya, baik dalil yang bersifat umum maupun khusus. Bid’ah seperti inilah yang mendapat peringatan tegas dari Rasulullah. “Setiap bid’ah adalah sesat.”
Bid’ah secara lughawi [bahasa] adalah sesuatu yang diciptakan dan sebelumnya tidak ada. Bid’ah seperti ini sering diistilahkan dengan istihsan [perbuatan yang baik] yang dilakukan oleh para shahabat. salah satunya apa yang dilakukan oleh Umar ketika ia mengumpulkan orang-orang untuk melakukan shalat tarawih berjamaah. Dan Umar berkomentar, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Ketika Ubai bin Ka’ab menanyakan, “Hal ini tidak pernah terjadi.” Umar menjawab, “Saya tahu, namun ini adalah baik.” Dengan kata lain Umar mengerti bahwa yang ia lakukan belum pernah terjadi, namun ia melihat bahwa yang ia lakukan mempunyai dasar dalam syariat.
Contoh lain adalah pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Pada masa Utsman, ia menyatukan bacaan al-Qur’an, pengiriman beberapa al-Qur’an yang telah terhimpun dalam satu mushaf ke berbagai negeri. Dan lain sebagainya.
Imam Syafi’i berkata, “Bid’ah ada dua, bid’ah yang baik [hasanah] dan bid’ah yang tercela [madzmumah]. Jika sesuai dengan sunnah, maka bid’ah tersebut adalah baik. Namun jika tidak sesuai dengan sunnah maka bid’ah tersebut adalah tercela. Perkataan ini didasarkan pada perkataan Umar bin Khaththab, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.
8. Anjuran untuk memberi pesan, ketika hendak berpisah, terhadap hal-hal yang membawa maslahat dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat
9. Larangan untuk menciptakan sesuatu yang baru dalam masalah agama, yang tidak memiliki dasar syar’i. Wallahu a'lam.
Sumber : alquranmulia.wordpress