Penjelasan Hadits Arbain ke-6 Hadits Tentang Syubhat
Insan Kamil Kota Bima - Penjelasan Hadits Arbain ke-6 : Hadits tentang Syubhat
Dari Abu ‘Abdillah an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang tidak jelas (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak orang. Barangsiapa yang meninggalkan perkara-perkara syubhat, dia telah mencari keterbebasan untuk agamanya (dari kekurangan) dan kehormatan dirinya (dari aib dan cela), dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara-perkara syubhat, dia telah terjatuh dalam perbuatan haram, bagaikan seorang gembala yang menggembala (ternaknya) di sekitar daerah terlarang, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya daerah terlarang Allah adalah perkara-perkara yang diharamkanNya. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging; jika baik, maka seluruh tubuh menjadi baik dan jika rusak, maka seluruh tubuh menjadi rusak pula, ketahuilah ia adalah hati’.” HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599.
Kandungan hadits :
Salah satu contoh syubhat yang disebutkan oleh Ibnu Rajab adalah bai’ul ‘inah (jual beli ‘inah). Ilustrasi dari jual beli ‘inah adalah sebagai berikut;
Suatu ketika saya membutuhkan uang, dan untuk mendapatkan uang ini saya sudah menempuh berbagai cara, di antaranya adalah dengan mencoba mencari pinjaman namun saya tidak mendapati pinjaman yang tanpa riba’, dan tidak ada barang yang bisa saya jual untuk bisa mendapatkan uang sejumlah yang saya butuhkan. Kemudian saya melewati sebuah showroom motor -misalnya- kemudian dari showroom ini saya membeli sebuah motor secara kredit senilai 15 juta rupiah. Lalu saya sepakat dengan pemilik showroom untuk menjual kembali motor itu seharga 10 juta cash.
Nah inilah yang dinamakan jual beli ‘inah. Karena ‘in/ dzat motor tersebut kembali kepada si penjual. Mengapa? Karena saya tidak membutuhkan motor tersebut. Yang saya butuhkan adalah uang sebesar 10 juta. Dan uang tersebut sudah saya dapatkan dengan menjual motor tersebut secara cash kepada si penjual dan pemilik showroom dengan kesepakatan, ‘Nanti saya akan membayarnya secara kredit sebanyak 15 juta’. Jadi saya membeli 15 juta secara kredit kemudian menjualnya kembali kepada si penjual sebanyak 10 juta secara cash. Jadi hari itu saya mendapatkan uang 10 juta secara cash, dan itu yang saya butuhkan. Dan di pundak saya ada beban tanggungan sebanyak 15 juta. Saya katakan, ‘Baik. Tidak ada masalah, karena saya bisa mencicil itu. Yang penting saya bisa mendapatkan uang 10 juta untuk memenuhi kebutuhan saya.’
Kesepakatan tersebut adalah hal yang disepakati keharamannya oleh para ulama. Karena ini adalah proses pinjam-meminjam uang yang riba’ yang dibungkus dengan jual-beli.
Akan tetapi jika tidak ada kesepakatan antara saya dan pemilik showroom, yang mana saya membeli motor secara kredit dengan harga 15 juta, dicicil selama 15 bulan, dan saya cicil sebesar satu juta per bulannya. Nah kemudian setelah keluar dari showroom tersebut tanpa ada kesepakatan dengan pemilik showroom, saya datang kembali ke showroom tersebut untuk menawarkan motor tersebut senilai 10 juta cash. Dan pemilik showroom mengatakan, “Baik, ini sebuah penawaran yang bagus. Saya menerima penawaran tersebut”. Kemudian hal ini juga termasuk ke dalam bai’ul ‘inah. Akan tetapi bai’ul ‘inah yang ini tidak direncanakan oleh kedua belah pihak sejak awal. Maka sebagian ulama membolehkannya.
Contoh lain adalah ketika saya membeli motor secara kredit dengan harga 15 juta, dicicil selama 15 bulan, dan saya cicil sebesar satu juta per bulannya. Kemudian saya jual kembali motor tersebut kepada pihak ke-3 secara cash sebesar 10 juta. Inilah yang dinamakan tawarruk. Hal ini pun diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.
Ibnu Rajab al Hambali rahimahullahu ta’ala menukil atsar dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya suatu ketika beliau datang terlambat untuk sholat berjama’ah di masjid. Jadi ketika beliau sedang menuju masjid, orang-orang sudah keluar dari masjid (sholat jama’ah telah selesai). Kemudian Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menghindar dari orang-orang yang keluar dari masjid dan beliau bersembunyi di sebuah tempat agar orang-orang tidak melihatnya. Mengapa? Karena meskipun beliau mempunyai udzur di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tapi beliau khawatir menjadi fitnah dan pembicaraan orang-orang yang terkadang tidak bisa dikontrol. Maka beliau mengatakan, “Barangsiapa yang tidak malu kepada manusia, maka ia tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Kesimpulan isi hadits :
Hukum-hukum dalam agama Islam bisa digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
Hukum-hukum yang jelas halal
Hukum-hukum yang jelas haram
Perkara-perkara yang syubhat
Sikap kita dalam menghadapi perkara-perkara yang syubhat adalah berusaha bertanya dahulu tentang hukumnya, kemudian membangun sikap berdasarkan penjelasan itu. Dan jika seandainya kita tidak bisa mendapatkan pencerahan, hal tersebut tetap syubhat bagi kita, maka hendaklah kita menghindari perkara syubhat itu.
Meninggalkan perkara syubhat itu bisa menyelamatkan diri kita dalam urusan agama/ akhirat kita. Dan juga bisa menyelamatkan kita dari pembicaraan manusia.
Barangsiapa yang tidak berhati-hati dalam perkara syubhat, dan memilih untuk jatuh di dalamnya, maka dia jatuh ke dalam perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jatuh ke dalam perkara yang haram itu memiliki dua penafsiran, yaitu :
Perkara yang syubhat itu akan membawa kita kepada perkara yang haram
Tanpa kita sadari kita sudah jatuh ke dalam perkara yang menurut kita syubhat, sedangkan menurut para ulama yang mumpuni, hal itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hati adalah organ tubuh yang paling penting. Kebaikannya akan berdampak kepada kebaikan seluruh anggota tubuh. Dan keburukan/ kerusakannya akan berpengaruh pada kerusakan anggota tubuh yang lain.
Semoga bermanfaat dan menambah ilmu kita, serta menerangi kehidupan kita sehari-hari sehingga kita bisa mencapai ridho Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bisa masuk ke dalam surga-Nya kelak. Wallahu a’lam.
Sumber : ngaji.id