Penjelasan Hadits Arbain ke-5 Hadits Tentang Bid’ah
Insan Kamil Kota Bima - Penjelasan Hadits Arbain ke-5 : Hadits tentang Bid’ah
Dari Ummul Mu’minin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam riwayat lain milik Muslim,
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami, maka ia tertolak.”
(HR. Bukhari No. 2697 dan Muslim No. 1718)
Hadits dari Al ‘Irbadh bin Sariyah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan untuk mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat perselisihan yang bnyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.” HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi
Ada beberapa hal yang termasuk ke dalam kategori muhdats (perkara yang baru dalam agama) :
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara yang tidak pernah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atau tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Contoh : sebagian orang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan musik dan menari.
Mengerjakan ibadah yang dicontohkan dalam Islam tetapi dengan cara yang salah. Contoh : menyembelih hewan qurban sebelum waktu sholat ‘Idul Adha, sholat sunnah di waktu larangan tanpa udzur (setelah subuh sampai terbit matahari, ketika matahari berada persis di atas kepala sampai masuknya waktu zhuhur, dan setelah ashar sampai terbenamnya matahari), berpuasa di hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha, sholat zhuhur lima raka’at dengan sengaja, dan sebagainya.
Syarat diterimanya amal : ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Niat baik saja tidak cukup.
Pemikiran-pemikiran baru dalam Islam. Aqidah yang berseberangan/ tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Contoh : paham yang mengatakan bahwa takdir itu tidak ada, tidak tertulis di Lauhul Mahfuzh.
Kesimpulan isi hadits
Islam sudah sempurna, tidak perlu lagi ditambah atau dikurangi. Maka kewajiban umat Islam adalah merujuk kembali khazanah sunnah dan agama yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak mencari hidayah atau solusi dari tempat lain.
Di antara konsekuensi syahadat bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah hamba dan utusan-Nya, kita tidak beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengan cara yang telah beliau ajarkan.
Barangsiapa yang melakukan suatu amalan tanpa ada contohnya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka amalan tersebut ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Barangsiapa yang menciptakan perkara-perkara baru dalam agama yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka ini lebih parah. Ancamannya lebih besar. Dia tidak akan diterima amalannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan berpotensi mendapatkan dosa jariyah. Yang terkena ancaman adalah bukan hanya yang menciptakan. Tetapi yang sekedar ikut-ikutan pun mendapatkan ancaman ini.
Ibadah kita tidak diterima kecuali kalau kita mewujudkan takwa dalam ibadah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Allah hanya akan menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa saja.” QS. Al Maidah (5) : 27
Maka hendaknya kita bisa mewujudkan takwa di setiap ibadah kita, yakni dengan menjalankan ibadah itu dengan ikhlas, tidak mengharap kecuali hanya pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian menjalankan ibadah itu sesuai dengan tuntunan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tanpa kita tambah-tambah. Wallahu a’lam.
Sumber : Ngaji.id